Kamis, 25 September 2014

Perkembangan Jurnalistik

Sejak Abad 16

Fungsi Pers bertambah menjadi “to influence” dari yang sebelumnya hanya “to inform”. Jejak Milton diikuti oleh John Erskine diabad 18 dengan karyanya “The Rights of Man”. Pada abad 18 itulah beralihnya sistem pers otoriter ke sistem pers Liberal. Ada 2 perjuangan utama pada abad 18 itu untuk membina prinsip liberal yang dipengaruhi oleh pers :
- Perjuangan yang berkaitan dengan fitnah yang bersifat menghasut
- Perjuangan yang bersangkutan dengan hak pers untuk menyiarkan kebijakan yang dilakukan pemerintah

Pada masa itu pemerintah inggris mengawasi kritik yang dilakukan secara terbuka dengan penuntutan terhadap fitnah menghasut. Para hakim yang diangkat kerajaan menaruh simpati kepada upaya pemerintahan dalam pengendalian pers sehingga tidak menggangu khalayak. Tapi pada akhirnya prinsip liberal ini mencapai kemenangan dengan dapat terbitnya kebenaran yang di inggris dibela oleh Parliamentary Act. Dengan demikian pers lebih leluasa dalam menyiarkan berita.

Kemenangan Pers sama halnya dengan kemenangan demokrasi. Karena itu pers diakui sebagai pejuang yang aktif dalam membina prinsip kemerdakaan terutama terjadi pada surat kabar. Untuk pembinaan teoritis, pers telah mengembangkan apa yang disebut “the theory of objective reporting” untuk memenuhi fungsinya sebagai media informasi.

Diawal abad ke-20 kegiatan kantor berita di Amerika mulai aktif, dan kantor berita memasukkan beritanya ke surat kabar lokal dengan informasi yang didapat dari negara bagian, dan sumber internasional. Kantor berita ini hanya membuat berita untuk langganan dari kedua partai politik yaitu Partai Demokrat dan Republik. Menyebarnya objective reporting di Amerika ini semakin diperluas oleh menurunnya keterlibatan pers dalam arena perjuangan politik dan beralihnya surat kabar dari “opinion journal” ke “news medium”. Di kalangan wartawan Amerika Objective Reporting menjadi kebanggaan profesi yang berpegang teguh pada pendiriannya bahwa melaporkan fakta adalah satusatunya tugas mereka. Opini dipisahkan secara tajam dari fakta dan opini ini dituangkan hanya dalam tajuk rencana.

Abad 20 beralihnya jurnalistik dari “The Libertarian Theory of the Press” ke “The Social Responsibility Theory of the Press”. Teori tanggung jawab hakikatnya sama seperti pers yang menganut teori libertarian yang secara tradisional mencakup hal-hal sebagai berikut :
- Mengabdi sistem politik dengan menyajikan informasi, diskusi dan debat mengenai persoalan umum.
- Memberi penerangan kepada khalayak sehingga menimbulkan kemampuan untuk berpemerintahan sendiri.
- Melindungi hak perorangan dengan mengabdikan diri sebagai penjaga menghadapi pemerintah
- Mengabdi sistem ekonomi terutama menghubungkan para pembeli dan penjual barang dan jasa melalui periklanan
- Menyajikan hiburan
- Memelihara kebutuhan sendiri dalam hal finansial sehingga bebas dari tekanan pihak tertentu

Awal tahun di Abad-19 Surat kabar menggunakan beritanya sebagai senjata politik, beritanya diubah, dibuat memihak dan ditahan hingga ada yang menguntungkan. Kemudian diabad yang sama surat kabar menuangkan opininya pada tajuk rencana, beritanya sendiri disusun secara objektif tanpa komentar pribadi dan disajikan tidak berdasarkan satu pihak melainkan semua pihak.

Lalu bagaimana dengan Pers di Uni Soviet? Surat kabar dinegara ini hampir tidak memuat iklan. Isinya yang tampak berbeda pada isi tajuk rencana. Berbeda dengan arti berita bagi orang-orang bukan komunis, arti berita bagi para redaktur Uni Soviet ialah Interpretasi terhadap proses sosial.

Jika ditinjau dari segi jurnalistik surat kabar di Uni Soviet menganut teori pers khas Uni Soviet yang umum dikenal menganut teori otoriter. Meskipun demikian di Uni Soviet terdapat kebebasan menyatakan pendapat. Hal ini dicantumkan dalam Konstitusi USSR pasal 125. Yang dijamin di USSR ini bukanlah “Free Opinion” dan “Free Expression” melainkan “Freedom of access to the means of expression”. Jadi bagi orang komunis jika dikatakan bahwa Pers itu harus bebas, maka yang bebas itu bukanlah untuk menyatakan pendapat, melainkan bebas dari kapital, individualisme, borjuansi dan anarki.

Perkembangan Jurnalistik Di Indonesia
Dimulai dari abad ke-18 tepatnya tahun 1774 dengan surat kabar pertama “Bataviasche Nouvelles” diterbitkan perusahaan belanda. Tahun 1776 terbit di Jakarta dengan nama “Vendu Niews” yang membahas berita pelelangan. Abad ke19 terbit berbagai surat kabar lainnya yang berbahasa belanda dan hanya bisa dibaca orang belanda dan pribumi yang bisa bahasa belanda. Surat kabar pertama yang bisa dibaca pribumi berbentuk majalah muncul tahun 1854 dengan nama “Bianglala” kemudian tahun 1885 disusul “Bromartani” dan tahun 1856 muncul surat kabar dengan judul “Soerat Kabar Bahasa Melajoe di Surabaya. Sejak itu muncul berita yang bersifat informatif dan sesuai dengan kondisi saat itu, seperti Tjahaja Siang, Tjahaja India, Tjahaja Moelia, Sinar Terang, Bintang Timoer, Bintang Barat, Bintang Djohar, Bintang Betawi, Matahari dan lain-lain.

Pers di indonesia, pertama masih berkembang di pulau jawa karena bahasa yang mudah dimengerti dan peralatan percetakan kebanyakan ada di pulau jawa. Sedangkan sumatera pertama kali muncul di padang tahun 1882 “Pelita Kecil” dan 1892 “Partja Barat” yang semuanya diterbitkan orang asing.

Yang menyulitkan para wartawan adalah sulitnya hubungan antara tempat yang satu dengan yang lain. contohnya saja peristiwa meletusnya Gunung Krakatau pada tanggal 27 Agustus 1883 baru bisa dimuat pada akhir September 1883 dengan berita yang tidak lengkap.

Sejarah Pers abad ke-20 ditandai dengan munculnya koran pertama milik RI yaitu “Medan Prijaji” terbit dibandung. Surat kabar ini di miliki dan kelola oleh Tirto Hadisurjo alias Raden Mas Djokomono. Pada mulanya tahun 1907 surat kabar terbit mingguan, kemudian tahun 1910 menjadi harian. Tirto Hadisurjo ini adalah pelopor jurnalistik modern diindonesia, hal ini bisa dilihat cara pemberitaan, pemuatan karangan, iklan dan lain-lain. Ada tulisan yang kontroversi saat “Medan Prijaji” beralih dari mingguan keharian dan karena tulisannya ia disingkirkan pemerintah Hindia-Belanda dari pulau jawa dibuang ke Pulau Bacan.

Semenjak kelahiran Boedi Oetomo dan gerakan kenegaraan lainnya, jumlah surat kabar diindonesia semakin bertambah. Hal ini bisa dimengerti karena organisasi kebangsaan dan keagamaan menyadari akan menyebarluaskan misinya lewat media massa.

Tumbuh “Darmo Kondo” yang mulanya terbit dua kali seminggu menjadi harian. Setelah mengalami pasang surut menjelang perang Pasifik, menjadi surat kabar bahasa indonesia pertama yaitu “Pewarta Oemoem” dan menjadi pembawa Suara Partai Indonesia Raya (PARINDRA). Berikutnya muncul “Sarotama” yang bersarekat islam dan lain-lain.

Dalam kemajuan perkembangan media massa di indonesia, khususnya cetak ada nama-nama besar yang turut membantu, seperti Ir.Soekarno, Dr.Mohammad Hatta, Moh.Yamin, Hadji Agoes Salim, Rangkajo Rasuna Said, Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, Hadji Misbach, Dr.Soetomo, Mr.Iwa Koesoema Soemantri, dan masih banyak lagi.

Ditinjau dari segi jurnalistik salah seorang tokoh bernama Dr.Abdoel Rivai dianggap sebagai wartawan yang paling terkenal karena tulisannya yang tajam dan pedas terhadap kolonialisme belanda sehingga beliau dijuluki dengan sebutan “Bapak Jurnalistik Indonesia” dan sudah diakui seluruh rakyat indonesia.

Jurnalistik Sesudah Proklamasi Kemerdekaan

Setelah proklamasi Pers di indonesia mengalami kebebasan sepenuhnya. Tahun 1945 dijakarta terbit Asia Raya yang diterbitkan dizaman jepang. Tanggal 1 Oktober 1945 terbit harian Merdeka sebagai hasil usaha kaum buruh yang menguasai percetakan. Dikota-kota lain juga bermunculan koran baru, antara lain :
- Kedaulatan Rakyat – ex Sinar Matahari (Yogya)
- Soeara Merdeka – ex Tjahaja (Bandung)
- Suara Rakyat – ex Suara Asia (Surabaya)
- Warta Indonesia – ex Sinar Baru (Semarang)

Pada revolusi fisik jurnalistik, para wartawan tidak hanya membuat berita untuk pembaca dipedalaman saja, melainkan berguna untuk prajurit, laskar-laskar yang berjuang. Berita yang dimuat bukan hanya mengorbankan semangat juang, tetapi sekaligus sebagai alat pemukul terhadap hasutan pihak belanda yang disiarkan melalui media massanya.

Awal tahun 1950, partai politik di indonesia mulai mempunyai surat kabar sebagai pembawa suaranya masing-masing, yaitu :
- Masjumi : Harian Abadi
- PNI : Suluh Indonesia
- Parta NU : Duta Masyarakat
- PKI : Harian Rakyat
- Partai Sosialis Indonesia : Harian Pedoman

Tahun 1950 – 1959 muncul doktrin demokrasi terpimpin yang di susul ajaran Manipol Usdek, kebebasan Pers digunakan untuk saling mencaci maki dan memfitnah lawan politik. Tanggal 1 Oktober 1958 bisa dikatakan sebagai tanggal matinya kebebasan pers di indonesia. Sesudah Dekrit Presiden Juli 1959 pihak penguasa berturut-turut mengeluarkan peraturan untuk memperketat pengawasan terhadap pers. Persyaratan mendapatkan SIT diperkeras, semua penerbit tahun 1960 diwajibkan untuk mengajukan permohonan SIT. Diformulir ada 9 peraturan penanggung jawab pemohon untuk mendukung manipol Usdek dan akan mematuhi pedoman yang dikeluarkan. Karena ada peraturan demikian sejumlah surat kabar menghentikan penerbitannya antara lain Harian Abadi, Harian Pedoman, Nusantara, Kengpo, Pos Indonesia dan lain-lain. dengan peraturan tersebut yang paling untung adalah PKI karena musuhnya telah tersingkir.

Lebih parah lagi ada peraturan yang menyebutkan bahwa surat kabar diwajibkan berafiliasi pada organisasi politik atau organisasi massa, dengan demikian sekitar 80 buah surat kabar pada masa itu dimiliki oleh 9 parpol dan ormas. Baru beberapa bulan peraturan berjalan, kemudian lahir peraturan baru yang menyatakan bahwa surat kabar atau majalah harus didukung oleh suatu partai politik atau tiga organisasi massa, dan surat kabar didaerah yang semula masih dibenarkan memakai nama berbeda dengan organisasi resmi dari induk tempat ia berafiliasi di pusat, harus mengubah namaya sehingga sama dengan nama organnya di Jakarta. Demikianlah maka koran teromper massa (medan) yang berafiliasi dengan sinar harapan harus berubah menjadi Sinar Harapan Edisi Sumatra Utara. Dan hal ini kembali menguntungkan PKI.

Klimaks kegiatan PKI dengan segala aparatnya membentuk pemberontakan yang dikenal dengan nama G30S PKI. Gerakan ini berhasil ditumpas oleh rakyat, ABRI dan Mahasiswa. Politik berubah, pers pun berubah. Akibat punahnya Orde Lama yang berganti jadi Orde Baru, hilanglah Harian Rakyat, Bintang Timur, Warta Bhakti, dan surat kabar Komunis lainnya dan muncul harian yang dibuat oleh mahasiswa yaitu Harian Kami, API, Tri Sakti dan lain-lain. Dan di tahun 1966 adalah tahun penting bagi Pers di Indonesia karena tahun itu keluar UU No.11 tahun 1966 tentang Ketentuan Pokok Pers.


Pada tahun 1988 tercatat 163 penerbitan pers, 60 diantaranya berupa surat kabar harian dan sisanya majalah, tabloid dan buletin. Tahun 1992 jumlah tersebut meningkat menjadi 277 penerbitan pers. Sedangkan jumlah tiras atau oplah penerbitan setiap kali terbit pada tahun 1988 sebanyak 10.783.000 eksemplar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar