Sejak Abad 16
Fungsi Pers
bertambah menjadi “to influence” dari yang sebelumnya hanya “to inform”. Jejak
Milton diikuti oleh John Erskine diabad 18 dengan karyanya “The Rights of Man”.
Pada abad 18 itulah beralihnya sistem pers otoriter ke sistem pers Liberal. Ada
2 perjuangan utama pada abad 18 itu untuk membina prinsip liberal yang
dipengaruhi oleh pers :
- Perjuangan yang berkaitan dengan fitnah yang
bersifat menghasut
- Perjuangan yang bersangkutan dengan hak pers
untuk menyiarkan kebijakan yang dilakukan pemerintah
Pada masa itu
pemerintah inggris mengawasi kritik yang dilakukan secara terbuka dengan
penuntutan terhadap fitnah menghasut. Para hakim yang diangkat kerajaan menaruh
simpati kepada upaya pemerintahan dalam pengendalian pers sehingga tidak
menggangu khalayak. Tapi pada akhirnya prinsip liberal ini mencapai kemenangan
dengan dapat terbitnya kebenaran yang di inggris dibela oleh Parliamentary Act.
Dengan demikian pers lebih leluasa dalam menyiarkan berita.
Kemenangan
Pers sama halnya dengan kemenangan demokrasi. Karena itu pers diakui sebagai
pejuang yang aktif dalam membina prinsip kemerdakaan terutama terjadi pada
surat kabar. Untuk pembinaan teoritis, pers telah mengembangkan apa yang
disebut “the theory of objective reporting” untuk memenuhi fungsinya sebagai
media informasi.
Diawal abad
ke-20 kegiatan kantor berita di Amerika mulai aktif, dan kantor berita
memasukkan beritanya ke surat kabar lokal dengan informasi yang didapat dari
negara bagian, dan sumber internasional. Kantor berita ini hanya membuat berita
untuk langganan dari kedua partai politik yaitu Partai Demokrat dan Republik.
Menyebarnya objective reporting di Amerika ini semakin diperluas oleh
menurunnya keterlibatan pers dalam arena perjuangan politik dan beralihnya
surat kabar dari “opinion journal” ke “news medium”. Di kalangan wartawan
Amerika Objective Reporting menjadi kebanggaan profesi yang berpegang teguh
pada pendiriannya bahwa melaporkan fakta adalah satusatunya tugas mereka. Opini
dipisahkan secara tajam dari fakta dan opini ini dituangkan hanya dalam tajuk
rencana.
Abad 20
beralihnya jurnalistik dari “The Libertarian Theory of the Press” ke “The
Social Responsibility Theory of the Press”. Teori tanggung jawab hakikatnya
sama seperti pers yang menganut teori libertarian yang secara tradisional
mencakup hal-hal sebagai berikut :
- Mengabdi sistem politik dengan menyajikan
informasi, diskusi dan debat mengenai persoalan umum.
- Memberi penerangan kepada khalayak sehingga
menimbulkan kemampuan untuk berpemerintahan sendiri.
- Melindungi hak perorangan dengan mengabdikan
diri sebagai penjaga menghadapi pemerintah
- Mengabdi sistem ekonomi terutama menghubungkan
para pembeli dan penjual barang dan jasa melalui periklanan
- Menyajikan hiburan
- Memelihara kebutuhan sendiri dalam hal finansial
sehingga bebas dari tekanan pihak tertentu
Awal tahun di
Abad-19 Surat kabar menggunakan beritanya sebagai senjata politik, beritanya
diubah, dibuat memihak dan ditahan hingga ada yang menguntungkan. Kemudian
diabad yang sama surat kabar menuangkan opininya pada tajuk rencana, beritanya
sendiri disusun secara objektif tanpa komentar pribadi dan disajikan tidak
berdasarkan satu pihak melainkan semua pihak.
Lalu bagaimana
dengan Pers di Uni Soviet? Surat kabar dinegara ini hampir tidak memuat iklan.
Isinya yang tampak berbeda pada isi tajuk rencana. Berbeda dengan arti berita
bagi orang-orang bukan komunis, arti berita bagi para redaktur Uni Soviet ialah
Interpretasi terhadap proses sosial.
Jika ditinjau
dari segi jurnalistik surat kabar di Uni Soviet menganut teori pers khas Uni
Soviet yang umum dikenal menganut teori otoriter. Meskipun demikian di Uni
Soviet terdapat kebebasan menyatakan pendapat. Hal ini dicantumkan dalam
Konstitusi USSR pasal 125. Yang dijamin di USSR ini bukanlah “Free Opinion” dan
“Free Expression” melainkan “Freedom of access to the means of expression”.
Jadi bagi orang komunis jika dikatakan bahwa Pers itu harus bebas, maka yang
bebas itu bukanlah untuk menyatakan pendapat, melainkan bebas dari kapital,
individualisme, borjuansi dan anarki.
Perkembangan
Jurnalistik Di Indonesia
Dimulai dari
abad ke-18 tepatnya tahun 1774 dengan surat kabar pertama “Bataviasche
Nouvelles” diterbitkan perusahaan belanda. Tahun 1776 terbit di Jakarta dengan
nama “Vendu Niews” yang membahas berita pelelangan. Abad ke19 terbit berbagai
surat kabar lainnya yang berbahasa belanda dan hanya bisa dibaca orang belanda
dan pribumi yang bisa bahasa belanda. Surat kabar pertama yang bisa dibaca
pribumi berbentuk majalah muncul tahun 1854 dengan nama “Bianglala” kemudian
tahun 1885 disusul “Bromartani” dan tahun 1856 muncul surat kabar dengan judul
“Soerat Kabar Bahasa Melajoe di Surabaya. Sejak itu muncul berita yang bersifat
informatif dan sesuai dengan kondisi saat itu, seperti Tjahaja Siang, Tjahaja
India, Tjahaja Moelia, Sinar Terang, Bintang Timoer, Bintang Barat, Bintang
Djohar, Bintang Betawi, Matahari dan lain-lain.
Pers di
indonesia, pertama masih berkembang di pulau jawa karena bahasa yang mudah
dimengerti dan peralatan percetakan kebanyakan ada di pulau jawa. Sedangkan
sumatera pertama kali muncul di padang tahun 1882 “Pelita Kecil” dan 1892
“Partja Barat” yang semuanya diterbitkan orang asing.
Yang
menyulitkan para wartawan adalah sulitnya hubungan antara tempat yang satu
dengan yang lain. contohnya saja peristiwa meletusnya Gunung Krakatau pada
tanggal 27 Agustus 1883 baru bisa dimuat pada akhir September 1883 dengan
berita yang tidak lengkap.
Sejarah Pers
abad ke-20 ditandai dengan munculnya koran pertama milik RI yaitu “Medan
Prijaji” terbit dibandung. Surat kabar ini di miliki dan kelola oleh Tirto
Hadisurjo alias Raden Mas Djokomono. Pada mulanya tahun 1907 surat kabar terbit
mingguan, kemudian tahun 1910 menjadi harian. Tirto Hadisurjo ini adalah
pelopor jurnalistik modern diindonesia, hal ini bisa dilihat cara pemberitaan,
pemuatan karangan, iklan dan lain-lain. Ada tulisan yang kontroversi saat
“Medan Prijaji” beralih dari mingguan keharian dan karena tulisannya ia
disingkirkan pemerintah Hindia-Belanda dari pulau jawa dibuang ke Pulau Bacan.
Semenjak
kelahiran Boedi Oetomo dan gerakan kenegaraan lainnya, jumlah surat kabar
diindonesia semakin bertambah. Hal ini bisa dimengerti karena organisasi
kebangsaan dan keagamaan menyadari akan menyebarluaskan misinya lewat media
massa.
Tumbuh “Darmo
Kondo” yang mulanya terbit dua kali seminggu menjadi harian. Setelah mengalami
pasang surut menjelang perang Pasifik, menjadi surat kabar bahasa indonesia
pertama yaitu “Pewarta Oemoem” dan menjadi pembawa Suara Partai Indonesia Raya
(PARINDRA). Berikutnya muncul “Sarotama” yang bersarekat islam dan lain-lain.
Dalam kemajuan
perkembangan media massa di indonesia, khususnya cetak ada nama-nama besar yang
turut membantu, seperti Ir.Soekarno, Dr.Mohammad Hatta, Moh.Yamin, Hadji Agoes
Salim, Rangkajo Rasuna Said, Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, Hadji Misbach,
Dr.Soetomo, Mr.Iwa Koesoema Soemantri, dan masih banyak lagi.
Ditinjau dari
segi jurnalistik salah seorang tokoh bernama Dr.Abdoel Rivai dianggap sebagai
wartawan yang paling terkenal karena tulisannya yang tajam dan pedas terhadap
kolonialisme belanda sehingga beliau dijuluki dengan sebutan “Bapak Jurnalistik
Indonesia” dan sudah diakui seluruh rakyat indonesia.
Jurnalistik
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan
Setelah
proklamasi Pers di indonesia mengalami kebebasan sepenuhnya. Tahun 1945
dijakarta terbit Asia Raya yang diterbitkan dizaman jepang. Tanggal 1 Oktober
1945 terbit harian Merdeka sebagai hasil usaha kaum buruh yang menguasai
percetakan. Dikota-kota lain juga bermunculan koran baru, antara lain :
- Kedaulatan Rakyat – ex Sinar Matahari (Yogya)
- Soeara Merdeka – ex Tjahaja (Bandung)
- Suara Rakyat – ex Suara Asia (Surabaya)
- Warta Indonesia – ex Sinar Baru (Semarang)
Pada revolusi
fisik jurnalistik, para wartawan tidak hanya membuat berita untuk pembaca
dipedalaman saja, melainkan berguna untuk prajurit, laskar-laskar yang
berjuang. Berita yang dimuat bukan hanya mengorbankan semangat juang, tetapi
sekaligus sebagai alat pemukul terhadap hasutan pihak belanda yang disiarkan
melalui media massanya.
Awal tahun
1950, partai politik di indonesia mulai mempunyai surat kabar sebagai pembawa
suaranya masing-masing, yaitu :
- Masjumi : Harian Abadi
- PNI : Suluh Indonesia
- Parta NU : Duta Masyarakat
- PKI : Harian Rakyat
- Partai Sosialis Indonesia : Harian Pedoman
Tahun 1950 –
1959 muncul doktrin demokrasi terpimpin yang di susul ajaran Manipol Usdek,
kebebasan Pers digunakan untuk saling mencaci maki dan memfitnah lawan politik.
Tanggal 1 Oktober 1958 bisa dikatakan sebagai tanggal matinya kebebasan pers di
indonesia. Sesudah Dekrit Presiden Juli 1959 pihak penguasa berturut-turut
mengeluarkan peraturan untuk memperketat pengawasan terhadap pers. Persyaratan
mendapatkan SIT diperkeras, semua penerbit tahun 1960 diwajibkan untuk
mengajukan permohonan SIT. Diformulir ada 9 peraturan penanggung jawab pemohon
untuk mendukung manipol Usdek dan akan mematuhi pedoman yang dikeluarkan.
Karena ada peraturan demikian sejumlah surat kabar menghentikan penerbitannya
antara lain Harian Abadi, Harian Pedoman, Nusantara, Kengpo, Pos Indonesia dan
lain-lain. dengan peraturan tersebut yang paling untung adalah PKI karena
musuhnya telah tersingkir.
Lebih parah
lagi ada peraturan yang menyebutkan bahwa surat kabar diwajibkan berafiliasi pada
organisasi politik atau organisasi massa, dengan demikian sekitar 80 buah surat
kabar pada masa itu dimiliki oleh 9 parpol dan ormas. Baru beberapa bulan
peraturan berjalan, kemudian lahir peraturan baru yang menyatakan bahwa surat
kabar atau majalah harus didukung oleh suatu partai politik atau tiga
organisasi massa, dan surat kabar didaerah yang semula masih dibenarkan memakai
nama berbeda dengan organisasi resmi dari induk tempat ia berafiliasi di pusat,
harus mengubah namaya sehingga sama dengan nama organnya di Jakarta.
Demikianlah maka koran teromper massa (medan) yang berafiliasi dengan sinar
harapan harus berubah menjadi Sinar Harapan Edisi Sumatra Utara. Dan hal ini
kembali menguntungkan PKI.
Klimaks
kegiatan PKI dengan segala aparatnya membentuk pemberontakan yang dikenal
dengan nama G30S PKI. Gerakan ini berhasil ditumpas oleh rakyat, ABRI dan
Mahasiswa. Politik berubah, pers pun berubah. Akibat punahnya Orde Lama yang
berganti jadi Orde Baru, hilanglah Harian Rakyat, Bintang Timur, Warta Bhakti,
dan surat kabar Komunis lainnya dan muncul harian yang dibuat oleh mahasiswa
yaitu Harian Kami, API, Tri Sakti dan lain-lain. Dan di tahun 1966 adalah tahun
penting bagi Pers di Indonesia karena tahun itu keluar UU No.11 tahun 1966
tentang Ketentuan Pokok Pers.
Pada tahun
1988 tercatat 163 penerbitan pers, 60 diantaranya berupa surat kabar harian dan
sisanya majalah, tabloid dan buletin. Tahun 1992 jumlah tersebut meningkat
menjadi 277 penerbitan pers. Sedangkan jumlah tiras atau oplah penerbitan
setiap kali terbit pada tahun 1988 sebanyak 10.783.000 eksemplar.